Tentang Kami

Foto saya
Kel.Krukut, Kec.Limo, Kota Depok, Prov Jawa Barat, Indonesia
Selalu berusaha ikhlas-sabar-syukur, Pecinta kedamaian&ketulusan, Ingin selalu berbagi & bermanfaat bagi sesama

Rabu, 13 Juni 2018

ANTARA HARAPAN/KEINGINAN, KEBUTUHAN, DO’A, UPAYA, & KETAATAN



Saudaraku, di dalam hidup ini semua orang tentu memiliki harapan/keinginan, dan semua orang tentu menghendaki agar harapan/keinginannya dapat terwujud/terpenuhi. Sebagian orang mungkin dapat memenuhi semua harapan/keinginannya, sebagian orang lagi mungkin dapat terpenuhi sebagian dari harapan/keinginannya, dan sebagian orang lain lagi mungkin tak satupun harapan/keinginannya yang dapat terwujud/terpenuhi.
Saudaraku, untuk dapat mewujudkan harapan/keinginan tertentu, tentu saja perlu dilakukan upaya/jerih payah/ikhtiar yang sebanding atau melebihi harapan/keinginan itu sendiri. Harapan/keinginan yang besar hanya dapat diwujudkan dengan benar2 melakukan upaya yang besar pula, bukan hanya ‘merasa’ melakukan upaya yang besar. Orang yang kecewa karena merasa telah melakukan upaya besar tetapi masih gagal mewujudkan harapan/keinginannya, belum tentu demikian keadaannya, karena boleh jadi: 1) harapan/keinginannya yang terlalu besar, atau 2) harapannya hanya didasarkan pada keinginan semata & tidak berdasarkan pada kebutuhan, atau 3) upayanya yang sebenarnya belum memadai, atau 4) kurang taat pada Tuhan.
Saudaraku, terkait hal itu Agama (Islam) mengajarkan kita untuk "berdo'a pada Tuhan dengan penuh keyakinan bahwa do'a kita akan dikabulkan, dan Tuhan tidak akan menerima do'a yang terbit dari hati yang hampa & tidak sungguh-sungguh". Dalam kenyataannya, hanya orang yang telah berupaya sungguh-sungguhlah yang mampu berdo'a dengan kesungguhan/keyakinan. Orang yang menyadari usahanya baru 'setengah-setengah' (belum memadai) tidak akan sanggup berdo'a dengan keyakinan do'anya akan diterima/dikabulkan. Kata orang bijak, "Tuhan mengabulkan do'a bukan pada saat diucapkan, tetapi pada saat tindakan dilakukan".
Selain itu, Islam juga memerintahkan kita untuk bertawakkal, yaitu berupaya/berikhtiar semaksimal mungkin, tetapi menyerahkan sepenuhnya apapun hasilnya dengan ikhlas kepada Allah Tuhan YMK.
Saudaraku, sebagai umat beragama, segala harapan/keinginan kita sebaiknya & marilah kita letakkan dalam kerangka menjalani hidup ini sesuai perintah & petunjuk Allah SWT Tuhan YMK yang dilandasi keimanan, keikhlasan & kesyukuran. Jadi sejauh mana ketaatan kita pada Tuhan pun akan mempengaruhi keterwujudan harapan/keinginan kita.  Selain itu, kita pun perlu belajar membedakan mana harapan yang memang merupakan kebutuhan dan mana yang hanya merupakan keinginan semata.
Mari kita Imani & yakini bahwa dengan Maha Kasih Sayang-Nya Tuhan, maka terwujud atau tidaknya harapan/keinginan kita, semua adalah pilihan terbaik Tuhan bagi kita. Tuhanlah yang Maha Tahu, Tuhanlah yang lebih tahu apa saja kebutuhan kita & apa yang terbaik bagi kita dibanding diri kita sendiri. Terbaik di mata Tuhan tidak selalu yang menyenangkan hati kita saat ini, tetapi pasti yang menyelamatkan & membahagiakan disaat nanti.
Saudaraku, soal harapan/keinginan itu, mari kita percayakan sepenuhnya pada Tuhan kita, tugas kita adalah melakukan yang terbaik kepada Tuhan dan memberikan yang terbaik kepada sesama dengan hati ikhlas & syukur. Semoga kita digolongkan orang yang pandai bersyukur, amin... (Sml)


ANTARA PEMBIASAAN, KEBIASAAN, KARAKTER, & BUDAYA


Saudaraku, kiranya kita sependapat bahwa sifat/kepribadian/karakter yang baik akan membantu proses pencapaian tujuan/kebutuhan/harapan seseorang, kelompok, organisasi, bahkan negara/bangsa atau gabungan dari bangsa-bangsa. Bila semua orang di negeri kita tercinta ini memiliki karakter yang baik, niscaya akan terbentuk karakter bangsa yang baik dan akan melahirkan (terimplementasi menjadi) budaya bangsa yang baik pula. Dengan karakter & budaya bangsa yang baik, maka akan menjadi modal utama dalam menyelesaikan berbagai masalah bangsa.  Demikian juga bila semua bangsa di dunia ini memiliki karakter & budaya yang baik, maka semuanya akan menjadi modal awal yang menentukan bagi berhasilnya menyelesaikan masalah2 antar bangsa dan masalah2 dunia.
Saudaraku, yang perlu dipahami & disadari, antara lain bahwa karakter yang baik itu tidak datang secara tiba2, tetapi harus dibentuk dengan sadar melalui proses2 pelatihan, proses2 pembiasaan & proses2 internalisasi niai2 karakter yang baik, yang memerlukan kesungguhan, konsistensi & waktu.
Untuk membentuk karakter yang baik, salah satu hal utama yang perlu dilakukan adalah melatih & membiasakan setiap hari berpikir, bersikap, bertutur-kata, & melakukan tindakan2 yang baik, dengan dilandasi hati yang ikhlas, syukur, penuh motivasi, & berserah diri kepada Tuhan, Insya-Allah tanpa disadari dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu akan terjadi proses akumulasi pembentukan karakter yang baik itu, dan tanpa disadari pula karakter itu telah terbentuk.  Bila proses pembiasaan itu terus berjalan, maka karakter yang sudah terbentuk itu dari waktu ke waktu semakin kokoh.
Sedangkan untuk memiliki hati yang ikhlas, syukur, penuh motivasi, & berserah diri kepada Tuhan, hanya keimanan & keyakinan pada Allah Tuhan YMK-lah yang mampu melahirkannya karena dari sanalah perintah/petunjuk itu berasal.
Saudaraku, sayangnya, upaya pelatihan & pembiasaan yang memadai & konsisten itulah yang belum dilakukan banyak orang, bahkan malah dilupakan. Kita maunya hasil saja tanpa mau memahami bagaimana proses memperoleh hasil tersebut; kita tidak bisa lagi berharap besar (terciptanya karakter yang baik) kalau yang kita upayakan tidak memadai. Lebih baik kita 'berupaya besar tetapi berharap sedikit atau bahkan tidak berharap', daripada "berharap besar tetapi upayanya kecil/minim". Tuhan hanya memberikan 'imbalan' sebesar tindakan/upaya yang kita lakukan, bukan sebesar harapan/keinginan kita. 
Saudaraku, semoga kita diberi petunjuk & kekuatan oleh Allah Tuhan YMK, untuk dapat selalu belajar & berlatih melakukan hal2 yang baik & bermanfaat bagi sesama, dan semoga pada saatnya kita diijinkan memiliki karakter yang baik yang diperlukan bagi pembentukan karakter & budaya bangsa yang baik, menuju keadilan & kesejahteraan bersama se-bangsa maupun se-umat manusia, amin.... (Sml)

Senin, 11 Juni 2018

NILAI SEBUAH BANTUAN


Saudaraku, bila orang menilai sebuah bantuan maka biasanya bantuan yang berupa materi dan yang jumlah/nominalnya besarlah yang dianggap paling bernilai. Pendapat itu mungkin tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.  Bantuan yang diperlukan setiap orang tidak selalu sama, ada yang memerlukan bantuan materi namun ada juga yang memerlukan bantuan non materi, jadi pada dasarnya semua jenis bantuan diperlukan, keduanya sama pentingnya. Bahkan jenis-jenis bantuan non materi ini begitu banyak variasinya sesuai kebutuhan dan kondisinya, seperti: bentuk2 kepedulian, perhatian, saran/pendapat/pemikiran, waktu, tenaga, upaya mendamaikan pada perselisihan/pertengkaran, upaya perlindungan bagi orang/anak yang dalam ketakutan/bahaya/ancaman, dan sebagainya.
Sedangkan dalam hal bantuan materi, besarnya jumlah/nominal tidaklah bisa dijadikan satu-satunya ukuran karena sifatnya yang relatif: bantuan yang kecil jumlahnya (atau mudah melakukannya) bisa menjadi sangat bernilai ketika memang Itu yang dibutuhkan, demikian juga bantuan yang besar jumlahnya (atau sulit/berat melakukannya) baru dikatakan bernilai besar ketika sesuai dengan yang dibutuhkan. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai sebuah bantuan lebih ditentukan oleh: 1) kesesuaiannya dengan kebutuhan pihak yang dibantu, dan 2) kesesuaiannya dengan kemampuan pihak yang membantu.

Dilihat dari pihak yang membantu, maka bagi orang yang memiliki kemampuan lebih besar sebaiknyalah dapat membantu dalam jumlah yang lebih besar dibanding orang yang kemampuannya lebih kecil. Orang yang dikaruniai kemampuan besar tetapi hanya mau membantu yang kecil-kecil (atau yang mudah/ringan dilakukan), atau orang kaya yang sulit berbagi rezeki dan hanya mau memberikan barang2 bekas yang tidak dipakai lagi, dapat dikategorikan kikir/pelit & kurang bersyukur. Jadilah orang kaya yang dermawan dan rendah hati. Demikian juga bagi orang yang dari sisi materi baru memiliki kemampuan yang kecil, marilah belajar membantu sesuai kemampuannya kepada pihak2 sasaran yang sesuai.  Bahkan bagi orang yang sama sekali belum memiliki kemampuan materi untuk membantu, marilah belajar membantu sesama dengan memulai dari hal2 yang kecil, mudah dilakukan, & tidak memerlukan materi.  Bila semua pihak rela & ikhlas belajar membantu sesama sesuai kemampuan masing2, sehingga terjadi hubungan sesame manusia yang saling memberi & menerima, saling membantu & dibantu, saling memperhatikan dan diperhatikan, saling mengasihi dan dikasihi, semoga Tuhan akan meningkatkan derajad masing2 ke tingkat yang lebih tinggi/mulia, amin…
Saudaraku, sebagai salah satu bukti kesyukuran kita, marilah kita belajar untuk selalu membantu sesama sesuai dengan kemampuan kita dan kebutuhan saudara2 kita. Semoga kita diijinkan Allah SWT Tuhan YMK untuk dapat selalu membantu sesama dengan bantuan yang semakin bernilai, amin..... (Sml)

ANTARA UJIAN, PERINGATAN, & LAKNAT


Saudaraku, mungin kita sering mendengar perkataan orang yang merasa diuji, diperingatkan, atau bahkan dilaknat Tuhan atas musibah/kesedihan yang menimpanya.
Saudaraku, sejauh yang saya dengar & ketahui, musibah/kesedihan/kejadian yang sama bisa menjadi ujian bagi orang tertentu tetapi bisa menjadi peringatan atau bahkan menjadi laknat bagi orang lain, tergantung sejauh mana ketaatan orang yang bersangkutan. Dikatakan Ujian karena ditimpakan pada orang yang taat kepada Allah dengan tujuan untuk menaikkan derajad/kelas/kemuliaannya. Disebut Peringatan karena ditimpakan pada orang taat yang sedang lalai, dengan tujuan agar segera kembali taat. Dikatakan Laknat karena ditimpakan pada orang yang ingkar (tidak taat) pada Allah sebagai hukuman awal dengan harapan agar bisa berubah menjadi taat.
Saudaraku, mari kita berusaha memahami diri kita masing-masing, apakah kita termasuk dalam golongan orang yang taat, orang yang taat tapi terkadang/sedang lalai, atau orang yang ingkar (tidak taat) pada Allah. Jangan sampai kita tertipu/keliru dengan pemahaman kita sendiri yang belum tepat, misalnya: 1) kita merasa diuji Tuhan padahal kita sebenarnya belum termasuk orang yang taat, atau 2) mempertanyakan "mengapa orang yang sudah taat kok masih belum enak hidupnya?", "mengapa orang yang tidak benar malah bisa hidup enak?", dan sebagainya.
Selanjutnya mari kita belajar untuk selalu taat pada perintah Allah sebagai bukti kesyukuran kita, dan menerima segala yang kita alami dengan hati ikhlas karena keyakinan bahwa itulah pilihan terbaik Allah bagi kita. Bagi orang beriman, yang penting bukanlah musibah atau keberuntungan, kesedihan atau kesenangan, tetapi bagaimana bisa menyikapi dengan benar atas musibah dan keberuntungan, bagaimana menyikapi dengan benar atas kesedihan maupun kesenangan, karena bagi orang taat/beriman, semuanya adalah ujian yang harus dijalani dengan baik sesuai tuntunan Tuhan bila ingin naik kelas/derajad.
Saudaraku, semoga kita digolongkan orang2 yang taat & beriman pada Allah SWT, amin.... (Sml)

SABAR MENDIDIK ANAK, BERBAKTI KEPADA ORANG TUA


Saudaraku para orang tua, Saudaraku yang masih memiliki orang tua, dan anak2-ku,  agama (Islam) mengingatkan bahwa keridloan & kemurkaan Allah kepada hamba-Nya terletak pada keridloan & kemurkaan orang tua kepada anaknya. Islam juga memerintahkan kita untuk berbakti kepada orang tua supaya kelak anak2 kita pun berbakti kepada kita. Perintah tersebut mengandung pesan kepada setiap orang baik ketika berperan sebagai orang tua maupun sebagai anak.

Pesan kepada seseorang ketika berperan sebagai orang tua, antara lain: 
(a) agar mendidik & membesarkan anak dengan keikhlasan, kesabaran & rasa kasih sayang seperti sifat kasih sayang Allah pada hamba-Nya yang tak ada batasnya; 
(b) agar tetap ikhlas, sabar & mendidik anak dengan kasih sayang ketika suatu saat tersakiti/dikecewakan oleh sikap/perkataan/perbuatan anak, yang dibuktikan dengan: (1) tidak terpancingnya orang tua untuk membalas menyakiti anak, dengan keyakinan bahwa sikap/perkataan/tindakan anak tersebut dilakukan bukan atas kesengajaan/kesadaran anak melainkan karena keterbatasan atau belum sampainya ilmu/pengalaman/kedewasaan anak2 kita; (2) tidak menyumpahi anak2 kita dengan perkataan yang buruk karena ucapan orang tua kepada anak adalah sebuah do'a, jadi lebih baik do'akan bagi kebaikannya & agar diberi petunjuk Tuhan; bukankah hati kita pun tidak ingin anak2 kita celaka hanya karena sumpah-serapah kita yang buruk? anggaplah rasa tersakiti/dikecewakan itu seperti kita menelan pil pahit (obat/jamu) yang tidak saja demi menyelamatkan anak2 kita tetapi juga dapat menyehatkan jiwa kita. 
Dengan pendekatan seperti itu -yang memang lebih sulit/berat dilakukan- diharapkan timbul kesadaran agama yang tumbuh dari dalam diri anak untuk melakukan yang terbaik bagi dirinya & bagi sesama, bukan kesadaran semu yang dipaksakan dari luar.


Pesan kepada seseorang ketika berperan sebagai anak, antara lain:
a) agar selalu berusaha menepati ketentuan agama/Tuhan mulai dalam bersikap, bertutur kata, maupun melakukan tindakan kepada orang tua dengan penuh rasa hormat dan cara yang terbaik; 
b) agar berbakti kepada orang tua seperti diperintahkan agama, mulai dari mendo'akan, membantu orang tua/keluarga, melaksanakan permintaan/perintah kebaikan dari orang tua, dan menjaga diri dari sikap/perkataan/perbuatan yang dapat menyakiti/melukai hati orang tua. 

Saudaraku, orang tua kita, ibu dan bapak kita adalah perantara kelahiran & kehidupan kita di dunia ini, jasa orang tua kepada anak adalah jasa yang tak kan pernah lunas dibalas, orang tua (yang baik) pasti menginginkan anaknya hidup bahagia, orang tua tak kan pernah punya niat untuk menyengsarakan anak, tetapi orang tua juga manusia yang tak lepas dari kekurangan.... Sedangkan anak2 kita adalah amanah/titipan Tuhan, penerus kehidupan kita, bahkan penerus cita2 kita orang tua, tetapi anak2 kita pun juga manusia, bahkan manusia yang masih dalam taraf belajar kehidupan apalagi bila anak2 kita masih kecil.


Jadi, marilah kita semua, baik sebagai orang tua maupun sebagai anak, kita berupaya melakukan yang terbaik sesuai peran kita masing2 dengan keikhlasan & kesyukuran. Semoga Tuhan selalu membimbing hati kita pada kebenaran dan kebijaksanaan, amin.... (Sml)

SABAR DAN SYUKUR: BUAH DARI IMAN DAN IKHLAS


Saudaraku, mungkin kita pernah merasakan kesulitan/kesedihan yang terasa begitu berat bahkan terkadang berulang, padahal kita mungkin merasa telah berusaha menjalankan perintah Tuhan. Saudaraku, percayalah, dengan Maha Pengasih & Maha Penyayangnya Tuhan, Maha Mengetahui & Maha Bijaksananya Tuhan... maka di balik semua itu, pasti Tuhan punya rencana yang baik untuk kita yang tidak kita ketahui. Itulah ujian bagi keimanan kita, apakah kita tetap beriman dan menjalaninya dengan keikhlasan, kesabaran bahkan kesyukuran, atau sebaliknya kita malah mempersalahkan Tuhan.
Saudaraku, kalau kita ringkas/sederhanakn semua kejadian yang dialami manusia itu selalu ada dua sisi/kemungkinan: kesulitan atau kemudahan, kesedihan atau kesenangan, kesengsaraan atau kebahagiaan, kekurangan atau kecukupan/kelebihan, begitu seterusnya. Kedua sisi itu semua baik, semua merupakan ujian dari Tuhan dan dapat (bahkan pasti) dialami oleh semua orang yang mengaku beriman. Jadi, dalam hal kepemilikan harta misalnya, yang dilihat & dinilai Tuhan bukan kemiskinan atau keberlimpahan hartamya, tetapi bagaimana orang menyikapi ketika dirinya menjadi orang miskin dan bagaimana menyikapi ketika dirinya menjadi orang berkelimpahan harta. Demikian juga dalam hal-hal yang lain, yang dilihat Tuhan adalah bagaimana orang menyikapi ketika dirinya mengalami kedua sisi kehidupan tersebut.
Saudaraku, agama (Islam) mengajarkan bahwa untuk menghadapi semua kejadian hidup ini kita diminta untuk bersabar & bersyukur. Sabar ketika mengalami kesedihan/kesulitan dan bersyukur ketika memperoleh kesenangan/kemudahan.  Namun kesabaran dan kesyukuran adalah buah dari hati yang berisi keimanan dan keikhlasan.  Bahkan bila keimanan seseorang telah sangat kuat, apapun yang dialami yang ada hanyalah kesyukuran karena keyakinan bahwa semua terjadi karena kasih sayang Tuhan. Oleh karena itu  marilah kita perkuat keimanan kita dengan makin mendalami ajaran agama dan mengamalkannya.
Saudaraku, sebagai ilustrasi, orang yang diberi kecukupan/keberlimpahan harta tetapi justru sombong, kikir, kurang berbagi pada sesama, malas zakat/sedekah/dsb, boleh jadi itu pertanda bahwa orang itu tidak lulus ujian. Demikian juga orang kekurangan harta, lantas malas bekerja, selalu menggantungkan hidupnya pada orang lain bahkan meminta-minta, iri/dengki pada orang lain, atau menyalahkan Tuhan, boleh jadi itupun pertanda bahwa orang tersebut tidak lulus ujian.
Sebaliknya, bila orang yang diberi kecukupan/keberlimpahan harta itu tetap rendah hati (tidak sombong), lantas dermawan (banyak berbagi pada sesama), selalu menjalankan syari'at Islam terkait dengan harta; atau orang yang kekurangan harta tersebut tetap sabar & rajin berupaya di jalan kebenaran, menjaga kehormatan dengan tidak meminta-minta, ringan tangan bagi sesama, boleh jadi merupakan pertanda bahwa kedua orang itu sama-sama lulus ujian.
Kesabaran & kesyukuran berawal dari keimanan & keikhlasan yang tertanam dalam hati/jiwa seseorang, sedangkan keimanan & keikhlasan tumbuh karena seseorang makin kenal/dekat pada Tuhan & menjalankan perintah-Nya.
Saudaraku, marilah kita berusaha mendekatkan diri kita pada Tuhan dengan mendalami ajaran agama & menjalaninya dengan baik. Kita berdo'a, semoga apapun yang kita alami merupakan ujian Tuhan dalam rangka menghapus dosa atau menaikkan derajad/kemuliaan kita, dan bukan merupakan laknat/murka Tuhan pada kita.   Akhirnya, semoga kita digolongkan menjadi orang-orang yang beriman & diberi kemuliaan hidup, di Dunia & Akherat, amin.... (Sml)

NASIHAT DARI KEMATIAN


Saudaraku, tanpa kita sadari, mungkin kita pernah ditinggalkan orang-orang yang kita kenal karena dipanggil menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa, meninggal dunia. Kematian merupakan salah satu tahapan proses yang harus dilalui setiap orang/manusia dalam rangka menuju kembali kepada Sang Pencipta, Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan segala tindakannya di alam dunia. Tak satupun manusia bisa menghindar dari kematian, bahkan sekedar menundanya, terhadap panggilan yang satu ini, bila sudah tiba saatnya! Tak pandang usia: tua, muda, anak-anak, bahkan masih bayi, apalagi dewasa ini semakin beragam penyebab kematian seseorang atau bahkan banyak orang sekaligus! Aneka wabah penyakit, aneka macam kecelakaan, aneka bencana alam bahkan bencana sosial, telah menjadi penyebab kematian massal yang dialami sebagian Saudara2 kita.
Saudaraku, kematian adalah sesuatu yang pasti datangnya, sesuatu yang pasti akan dialami setiap orang, tetapi kapan waktunya, dengan penyebab apa, dan di mana tempatnya, itulah yang tidak pasti karena dirahasiakan Tuhan agar manusia selalu berbuat baik. Kematian juga merupakan sesuatu yang ditakutkan banyak orang, karena kematian merupakan kepergian dari dunia yang tak pernah bisa kembali, pemutus kehidupan di dunia, pemutus hubungan kehidupan dengan sesama manusia, pemutus kegiatan jasmaniah manusia, dan pemutus hal-hal keduniaan lainnya. Lebih dari itu, kematian merupakan awal dari masa pembalasan amal perbuatan yang dilakukan setiap manusia ketika di dunia, sehingga seseorang yang akan mati seharusnya memiliki bekal amal kebaikan yang cukup agar memperoleh balasan/kehidupan yang menyenangkan di alam nanti. Nah, cara terbaik untuk menghadapi sesuatu yang pasti terjadi tetapi saat terjadinya yang tidak pasti, adalah dengan berjaga-jaga sebelumnya.
Saudaraku, dalam rangka berjaga-jaga tersebut, marilah kita belajar untuk menjadikan semua kejadian yang kita lihat, dengar, & kita alami, termasuk kematian seseorang sebagai "Nasihat" bagi kita agar dapat selalu memperbaiki diri secara terus-menerus sepanjang hayat kita ini. Jangan ikuti/ulangi pengalaman buruk yang telah dialami orang lain, tapi jadikanlah pelajaran terbaik agar kita tidak mengalami. Marilah rasa takut kita ini kita wujudkan dengan semakin mendekatkan dri pada Tuhan YMK, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh kepasrahan, keikhlasan, kesabaran & kesyukuran. Yang lebih penting bukan panjangnya usia kita, tetapi bagaimana kita memanfaatkan jatah usia kita dengan sebaik-baiknya sesuai kehendak Tuhan YMK.
Saudaraku, semoga kita dijadikan oleh Tuhan YMK hamba yang taat & selalu memperoleh petunjuk & pertolongan-Nya, amin... (Sml)

Sabtu, 09 Juni 2018

SERAKAH, IRI, DAN DENGKI


Saudaraku, serakah, iri & dengki merupakan sikap/perilaku buruk yang perlu kita hindari sejak dini, karena sikap/perilaku tersebut tidak saja merusak keharmonisan/keseimbangan tata hubungan antar manusia & merugikan orang lain, tetapi juga dapat merusak kesehatan & merugikan orang yang bersangkutan.
Keinginan untuk memiliki sesuatu adalah manusiawi, sesuatu yang wajar, bahkan diperlukan sejauh sesuai dengan kebutuhan. Tetapi keinginan yang berlebihan, yang jauh melampaui (tidak berdasarkan) kebutuhan, dan yang sampai menabrak norma/batas kepatutan atau hak2 orang lain adalah sebuah keserakahan.
Jiwa/hati orang yang serakah akan selalu merasa kurang & tidak bersyukur walaupun telah bergelimang kemewahan, merasa rugi/sayang untuk berbagi & menumbuhkan sifat kikir/pelit, lebih senang menerima daripada memberi, serta cenderung ingin menguasai/mengungguli orang lain secara membabi buta. Orang serakah merasa harus memiliki semua yang dimiliki orang lain, bahkan harus lebih banyak dan lebih banyak, sedangkan orang lain cukuplah memiliki sedikit atau tidak perlu memiliki. Keserakahan yang dibiarkan terus tumbuh & berproses dalam jiwa/hati seseorang merupakan lahan subur bagi tumbuhnya perasaan iri dan dengki.
Jiwa/hati orang yang IRI akan selalu merasa tidak senang bila orang lain merasakan kesenangan/kebahagiaan, dan justru merasa senang kalau orang lain mengalami kesedihan/kesengsaraan/kemalangan. Perasaan IRI yang ditambah dengan kebencian akan menjelma menjadi Dengki, sehingga orang berhati dengki tidak cukup dengan perasaan tidak senang atas kebahagiaan orang lain tetapi akan berusaha meng-halang2i kebahagiaan orang lain. Dengki lebih buruk daripada Iri, namun keduanya bersumber dari keserakahan yang dibiarkan/dituruti. Keserakahan, Iri & Dengki inilah yang akan memicu tindakan-tindakan jalan pintas, criminal & melawan hukum seperti penipuan, pencurian, perampasan, perampokan, korupsi, fitnah, penganiayaan, bahkan pembunuhan. Begitu buruknya iri & dengki, sampai agama (Islam) mengibaratkan iri & dengki itu memakan pahala (kebaikan) bagai api yang membakar (memakan) kayu bakar.
Saudaraku, selain nyata-nyata merugikan pihak lain, menurut orang bijak, keserakahan, iri & dengki pun dinilai dapat merusak kesehatan & merugikan diri sendiri, yang menurut hemat saya adalah benar adanya. Kalau kita ilustrasikan/misalkan seorang pengidap tekanan darah tinggi, yang mau tidak mau harus melihat realitas/kejadian kehidupan yang tidak selalu sesuai dengan keiginan mereka, tetapi di sisi lain emosi/hati/jiwanya tidak dapat tenang, maka dapat kita perkirakan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan jantung/kesehatannya.
Saudaraku, marilah kita jauhi keserakahan, iri & dengki dengan cara memperkuat keimanan/keyakinan & keberserahan diri pada Tuhan (kemahakasihsayang-Nya, kemahaadilan-nya, kemahatahuan-Nya, kemahakuasaan-nya, kemahasempurnaan-nya, dsb seperti Rukun Iman yang Enam), melaksanakan perintah-Nya (Rukun Islam yang Lima, banyak berbagi dengan sesama, dsb) dan menjauhi larangan-Nya, dengan hati ikhlas, sabar & syukur.
Saudaraku, untuk memperkuat niat kita, ingatlah selalu Hukum Karma: relakah kita, atau roh kita di alam kubur nanti (bila kita sudah mati) melihat anak-cucu kita mengalami kesengsaraan/penderitaan karena harus menebus dosa/kejahatan kita (selaku orang tua/nenek moyang mereka)? Sanggupkah kita melihat anak cucu kita menanggung dosa yang tidak mereka lakukan)? Bila kita tidak rela, marilah kita selalu berbuat yang terbaik & menebar manfaat bagi sesama saat ini, yang kita niatkan juga untuk kebaikan anak-cucu kita kelak. Janganlah kita rampas hak/kebahagiaan anak-cucu kita yang tidak berdosa hanya untuk menebus kejahatan kita yang sebenarnya dapat kita hindari.
Saudaraku, semoga kita, anak-cucu kita, dan semua umat manusia dijauhkan dari keserakahan, iri & dengki, serta dituntun oleh Tuhan YMK, Allah SWT meniti jalan-Nya, amin...(Sml)

MENEGAKKAN KEADILAN


Saudaraku, bila kita mendengar kata "adil" atau "keadilan", mungkin yang tergambar di pikiran kita keadilan itu 'menempatkan segala sesuatu sesuai proporsinya', 'tidak berat sebelah', 'tidak memihak', 'tidak pilih kasih', 'tidak diskriminatif', atau gambaran sejenis lainnya sesuai dengan konteks persoalannya.
Saudaraku, keadilan relatif mudah diucapkan/dijanjikan tetapi tidak mudah untuk dilakukan/ditegakkan.
Meskipun sulit ditegakkan, tetapi keadilan wajib ditegakkan karena keadilan merupakan prasyarat bagi bertahan/langgengnya sebuah pesahabatan, persaudaraan, kerja sama, atau bentuk-bentuk ikatan lainnya. Tuhan pun memerintahkan manusia untuk berlaku adil, termasuk kepada pihak yang tidak kita senangi. Keadilan perlu dilatih dan dilakukan mulai dalam lingkungan keluarga sampai pada lingkungan yang lebih luas. Bahkan dalam sebuah pemerintahan, keadilan yang dirasakan seluruh rakyat tidak saja dapat menjelma menjadi kekuatan tak terkalahkan untuk mendukung/membela pemerintah/negara, tetapi juga menjadi motivasi kuat untuk bekerja keras dan melakukan yang terbaik bagi kemajuan bangsanya.
Tidak mudahnya keadilan ditegakkan, antara lain karena keadilan menuntut semua pihak untuk siap menerima apapun akibat ditegakkannya keadilan (terutama akibat yang merugikan); keadilan juga menuntut kesediaan pihak yang kuat untuk membantu & melindungi pihak yang lemah, bahkan keadilan pun menuntut kesediaan berkorban untuk melawan/menghadapi pihak-pihak yang telah melampaui batas dalam melakukan ketidakadilan.
Saudaraku…….., terutama yang sedang menempati/memiliki posisi-sosisi strategis di negeri ini, baik di pemerintahan, perusahaan (dunia usaha), maupun di berbagai organisasi dan kelompok masyarakat, jadikanlah keadilan yang didasari moral agama sebagai prasyarat awal bagi semua kebijakan, niatkan semuanya karena Tuhan, selalu lakukan & berikan yang terbaik, insyaAllah Tuhan YMK akan memberikan jalan keluar terbaik-Nya, amin.....  Oleh karena itu, marilah kita belajar secara konsisten menerapkan keadilan di dalam lingkungan kita masing-masing: dalam keluarga, dalam pergaulan, dalam lingkungan pendidikan, pekerjaan, organisasi, dsb dengan seutuhnya. Jangan hanya menginginkan tegaknya keadilan ketika kita dirugikan oleh ketidakadilan atau ketika kita diuntungkan oleh tegaknya keadilan,  dan jangan pula kita menghalang-halangi tegaknya keadilan ketika keadilan merugikan kepentingan kita.
Saudaraku, kalau kita menginginkan keadilan sebatas untuk meraih keuntungan atau menghindari kerugian dan tidak peduli dengan kerugian pihak lain oleh ketidakadilan, maka kita tidak akan pernah bisa berbuat adil. Tetapi kalau hati kita ikhlas menjadikan keadilan bersama sebagai kepentingan kita, sebagai prasyarat bagi semua ikatan, insyaAllah Tuhan akan menuntun kita untuk mampu berlaku/berbuat adil, amin... Mari kita belajar adil karena keadilan akan membaikkan semua dan melanggengkan kebaikan. Semoga. (Sml)

KESYUKURAN DAN KEBAHAGIAAN


Saudaraku, mungkin (hampir) semua orang menginginkan hidup dengan hati/jiwa tenang, damai, & bahagia. Sebagian orang pun lantas berlomba-lomba untuk: 1) mengumpulkan kekayaan materi, 2) mengejar kedudukan/jabatan/kekuasaan, dan 3) menuruti kehendak nafsu, karena mungkin di benak mereka ketiga hal itulah yang otomatis akan menenangkan, mendamaikan & membahagiakan hidup.
Saudaraku, ketiga hal itu ibarat "alat" yang memang penting/diperlukan dan diharapkan dapat mendatangkan kebahagiaan diri dan sesama bila melekat pada orang yang berhati/jiwa ikhlas, sabar & syukur. Tetapi "alat" tersebut dapat pula berbalik menjadi menyengsarakan diri dan sesama bila melekat pada orang yang berhati/jiwa kufur & tidak ikhlas.
Saudaraku, menurut hemat saya, sebuah "alat" itu bersifat netral, yang dapat menghasilkan kebaikan atau keburukan, tergantung (penentunya) siapa yang berada di belakangnya, siapa yang memiliki/menguasai/menggunakannya. Bila hati kita masih dipenuhi kekufuran dan ketidak-ikhlasan, maka betapapun banyak/canggih "alat" yang kita miliki  tidak akan mendatangkan ketenangan, kedamaian & kebahagiaan, bahkan justru dapat mendatangkan kesengsaraan. Sebaliknya, bila hati kita dipenuhi dengan keimanan, keikhlasan, kesabaran & kesyukuran, maka apapun & berapapun “alat” yang kita miliki/gunakan, insyaAllah akan mendatangkan ketenangan, kedamaian, & kebahagiaan, dan pasti membawa kemanfaatan bagi diri kita dan bagi sesama. Ketenangan, kedamaian, & kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh hati yang bersyukur, sedangkan hati yang bersyukur dihasilkan oleh keimanan & keikhlasan yang tertanam dalam hati.  
Saudaraku, marilah kita belajar mempercayai, meyakini & mengimani keberadaan Allah Sang Maha Pencipta dengan kemahakuasaan-Nya, kemahabesaran-Nya, kemahaadilan-Nya, serta kemahapemurah & mahapenyayang-Nya. Selanjutnya, marilah kita belajar ikhlas dengan apapun yang kita alami & rasakan dalam hidup ini: suka/duka, menyenangkan/menyedihkan, keberuntungan/kerugian, dan sebagainya, karena selama kita sudah berada di jalan Tuhan, apapun yang kita alami adalah pilihan terbaik Tuhan bagi kita. Yang terbaik bagi kita di mata Tuhan boleh jadi terkadang tidak menyenangkan kita  karena kebelum-tahuan kita, karena Tuhanlah yang lebih tahu apa yang terbaik bagi kita daripada diri kita sendiri.
Saudaraku, bila keimanan dan keikhlasan telah memenuhi hati kita, insya Allah kesabaran dan kesyukuran pun akan menemani & mengisi hati kita.  Dengan hati yang dipenuhi kesabaran & kesyukuran, niscaya ketenangan & kedamaian hati pun akan mewarnai kehidupan kita, dan semoga..... kebahagiaan pun akan datang, Amin... (Sml)

Kamis, 07 Juni 2018

BELAJAR MANDIRI SEJAK KECIL


Untuk anak2ku terutama yang sejak kecil sampai lulus SLTP apalagi SLTA atau bahkan S1 belum pernah belajar mengurusi urusan/kebutuhan pribadi (seperti mencuci & merapikan pakaian, mencuci piring, menyapu, memasak, dsb) karena semua sudah dikerjakan oleh orang tua atau pembantu, sebaiknya segeralah MULAI BELAJAR melakukan itu semua, kerjakanlah di sela2 kegiatan rutin kalian terutama di hari libur. Yang belum memiIiki kegiatan rutin (misalnya sudah lulus sekolah/kuliah dan belum memiliki pekerjaan tetap) ciptakanlah kegiatan rutin yang bermanfaat bagi hari depan kalian (kursus2, latihan2, dsb yang bias menambah pengalaman/ketrampilan/keahlian dsb). Ingatlah bahwa suatu saat kalian harus lepas dari orang tua dan berdiri sendiri, mengurusi sendiri dan bertanggung jawab atas semua itu, sehingga kalian akan menemui kesulitan kalau sebelumnya belum pernah mencoba/latihan.
Walau mungkin orang tua kalian memiliki semuanya, kalian tidak boleh mengandalkan orang tua, karena ketika orang tua sudah tiada, semua kebutuhan kalian yang tadinya sudah disiapkan orang tua dan kalian tinggal terim aberes, akan berbalik: kalianlah yang harus mencari & menyiapkan semuanya. Kalau kalian tidak memiliki bekal ketrampilan hidup, apalagi bila karakter/agama kalian lemah, maka berapapun kekayaan materi yang kalian terima dari orang tua atau kalian warisi dari orang tua, lambat-laun akan habis untuk kehidupan kalian. Nah, bila hal itu sudah terjadi, penyesalan kalian sudah terlambat.  Lebih dari itu, kalian pun harus punya harga diri (kehormatan diri) dan tentu malu kalau dikatakan tidak punya prestasi apa2 karena semuanya pemberian/warisan dari orang tua. Kalian harus bisa membedakan mana prestasi kalian dan mana prestasi orang tua. Sadarilah bahwa kekayaan & fasilitas yang kalian peroleh dari pemberian orang tua itu sebenarnya bukanlah prestasi kalian dan tidak sepantasnya dipertontonkan. Yang perlu kalian lakukan atau yang dapat kalian tunjukkan adalah prestasi apa yang telah kalian ukir atau kegiatan positip apa yang telah kalian lakukan dengan fasilitas yang diberikan orang tua itu. Tanamkanlah dalam jiwa kalian: "yang kaya itu orang tua saya, bukan saya", hayati & praktekkan agama dengan baik, syukurilah & berbagilah kepada sesame, semoga kalian mampu berprestasi seperti orang tua kalian dan terhindar dari sifat sombong.
Nah, selagi orang tua kalian masih ada, persiapkanlah diri kalian dengan belajar mengurusi kebutuhan pribadi, belajar hidup teratur & membagi waktu, belajar & mempraktekkan agama dengan baik, menuntut ilmu, ketrampilan & keahlian sesuai bidang yang kalian minati, belajar berhemat/menabung/beramal/berbagi, dan belajar hal2 positip lainnya. Ketahuilah bahwa keberhasilan orang tua yang kalian lihat & rasakan itu biasanya diperoleh dengan perjuangan panjang dan kerja keras dari orang tua kalian yang tidak kalian lihat. Sudah sepadankah perjuangan dan kerja keras kalian dibanding orang tua kalian?
Anak2ku, mungkin kalian merasakan susah sekali untuk memulai melakukan semua itu, hal itu wajar karena belum terbiasa, cobalah terus berusaha, tumbuhkan motivasi diri kalian dengan mendalami agama: bukankah itu semua sangat dianjurkan agama dan sangat bernilai pahala?   Bila kalian masih tetap susah untuk memulai, cobalah membuat simulasi situasi kejiwaan kalian yang dapat “memaksa” kalian melakukan semua itu (misalnya orang tua meninggal dunia, kehilangan sumber penghasilan, dsb).  Bayangkan se-akan2 kalian sudah tidak punya orang tua sehingga semuanya harus dilakukan sendiri. Atau bayangkan kalian se-akan2 ikut/numpang di rumah orang lain yang harus mampu bertindak "tahu diri" agar tidak merepotkan/menyusahkan Tuan rumah. Atau bayangkan kalian bekerja pada orang lain dan menjadi satu2nya sumber biaya hidup kalian, sehingga kalian harus setiap hari bekerja se-baik2nya & tak boleh ada yang salah.
Anak2ku, tirulah hal2 yang baik saja dari orang tua kalian, dengarkan & lakukan nasihat2 yang baik dari orang tua kalian. Singkatnya, berbaktilah pada orang tua kalian dan jangan berlaku kasar pada mereka. Ingatlah bahwa berbakti pada orang tua itu perintah Tuhan (agama), dan ingatlah bahwa pada gilirannya kalian pun akan menjadi orang tua dari anak2 kalian yang wajib kalian bimbing/didik/besarkan dengan kasih sayang. Jadilah anak yang baik supaya nanti dapat menjadi orang tua yang baik dan dikaruniai anak yang baik. Janganlah merasa rugi menjadi anak yang rajin berupaya untuk menghasilkan prestasi, jangan pula merasa malu berbakti pada orang tua. Ingatlah bahwa yang akan menanggung akibat kegagalan kalian adalah kalian sendiri, bukan orang tua kalian, bukan pula orang lain, tetapi semua orang tua pasti sedih bila melihat anaknya gagal/menderita.
Anak2ku, selamat mencoba dan mencoba, ikhlaskan hati, teguhkan pendirian, serahkan semuanya pada Tuhan, semoga Tuhan memberimu jalan keluar yang terbaik atas segala persoalan kalian, amin... (Sml)

MENJAGA KEHORMATAN KAUM DU'AFA


Saudaraku, kita bersyukur dan turut merasa senang bila melihat atau mendengar Saudara2 kita (atau mungkin ada di antara kita sendiri) mengeluarkan (mengadakan pembagian) sedekah, zakat, santunan kepada anak yatim, santunan kepada fakir miskin, khitanan massal, atau bentuk2 kegiatan lainnya dalam berbagi rejeki/menolong sesama. Terkadang kegiatan tersebut dikemas/diorganisir/dikaitkan ke dalam event2/seremonial tertentu, namun terkadang dilakukan secara langsung. Terkadang mereka (para calon penerima sedekah/santunan) itu diundang (secara aktif atau pasif) untuk mengambil/menerima sedekah/santunan, namun terkadang sedekah/santunan itu yang diantar/dikirimkan ke tempat mereka.
Namun di balik kesyukuran itu, kita merasa prihatin atas terjadinya hal2 yang tidak diinginkan seperti adanya korban sakit lebih-lebih korban jiwa (misalnya karena terinjak-injak/tergencet/kelelahan saat mengantri) yang justru dialami oleh beberapa calon penerima sedekah/santunan yang seharusnya kita muliakan. Kadang2 juga dapat terjadi calon penerima yang sudah mengantri tetapi tidak kebagian paket sedekah/santunan karena jumlah orang yang datang melebihi paket yang disediakan "panitia".
Saudaraku, lantas bagaimana cara yang sebaiknya ditempuh Saudara2 kita yang akan berbagi rejeki, agar tidak terjadi ekses negatif tersebut? Menurut hemat saya, sebaiknya ditempuh cara yang paling aman, manusiawi, dan dapat menjamin kepastian akan memperoleh paket sedekah/santunan tersebut.
Dilihat dari keamanan dan kemanusiawiannya, menurut hemat saya mengantarkan paket2 sedekah/santuan ke tempat/alamat calon penerima lebih aman dan lebih manusiawi, bila dibanding dengan mengundang mereka untuk (antri) menerima paket tersebut & menentengnya pulang. Mengumpulkan mereka apalagi harus antri/ber-desak2an, selain berisiko juga kurang manusiawi, bahkan dapat menimbulkan kesan mempertontonkan/mempermalukan mereka sekaligus kesan memamerkan kedermawanan orang yang berbagi.
Kalau memang harus dengan mengumpulkan/mengundang mereka, persiapkanlah segala sesuatunya dengan baik agar tetap manusiawi dan tidak memberatkan/membahayakan mereka apalagi emmpermalukan. Undanglah mereka sebagai tamu yang terhormat & harus dimuliakan; bukankah salah satu kesempurnaan Iman seseorang ditandai dengan memuliakan tamunya?
Nah, untuk dapat menjamin KEPASTIAN akan memperoleh paket inilah yang memerlukan kesediaan "panitia" untuk berjerih payah melakukan perencanaan & persiapan yang baik terutama pendataan yang memadai terhadap calon penerima paket2 tersebut. Menurut hemat saya, justru karena rendahnya faktor kepastian inilah yang menyebabkan mereka rela memilih antri & berdesakan di terik matahari, dibanding menunggu di rumah dengan hati was-was takut tidak kebagian. Soal pendataan atau akses data ini tentunya kita dapat melibatkan lembaga/organisasi terkait baik pemerintah maupun non pemerintah (dinas sosial, bazis, atau melibatkan pengurus/penggiat lingkungan (RW, RT, Karang Taruna, majelis2 taklim, dsb).
Saudaraku, untuk berbagi rejeki, selain dengan cara2 di atas yang tampak eksplisit (terpisah) dari transaksi2 keseharian hidup kita, menurut hemat saya kita perlu mendampinginya dengan cara2 berbagi rejeki/materi yang bersifat implisit (melekat/menyatu) di dalam transaksi2 keseharian/keduniaan dalam hidup ini, mulai dari saat di rumah, di perjalanan, di tempat belajar/bekerja/berusaha, di tempat belanja, dan di manapun juga saat kita melihat, bertemu atau berinteraksi dengan orang lain, yang sebagian dari mereka kita nilai perlu dibantu dari sisi materi. Boleh jadi mereka itu pembantu kita, mungkin penjaja makanan, atau pedagang keliling, atau tukang sepatu keliling, atau lainnya yang tiap hari lewat di lingkungan tempat tinggal kita, mungkin pemasok barang langganan kita, mungkin pengemudi angkot yang sedang sepi penumpang atau penjual kecil yang sedang sepi pembeli atau anak sekolah yang kehabisan ongkos pulang, mungkin sekumpulan anak yang memerlukan alat permainan, mungkin WC umum yang kran/slot pintunya rusak, dan seribu satu kemungkinan lain yang dapat kita jumpai dan memerlukan bantuan. Berbagilah dengan mereka2 itu misalnya dengan melebihkan besaran rupiah yang kita bayarkan sebagai gaji atau harga pembelian barang atau ongkos jasa tertentu atau lainnya….., pendeknya, selain melakukan/memberikan apa yang menjadi kewajiban kita (sebesar harga/nilai barang/jasa tersebut), lakukan/berikan/tambahkan juga apa yang menurut penilaian kita diperlukan mereka, selekasnya.
Dengan melekatkan (mengimplisitkan) amalan kebaikan pada transaksi2 kehidupan keseharian ini diharapkan nilai2 agama dapat terimplementasi dalam kehidupan se-hari2, atau dengan perkataan lain dapat membentuk pribadi muslim yaitu pribadi yang diwarnai dengan akhlak mulia yang telah diajarkan Nabi kita Muhammad SAW. Bila akhlak sudah baik, maka ilmu/pengetahuan, ketrampilan, maupun keahlian yang dimiliki seseorang akan membawa manfaat bagi sesama, sebaliknya segala kelebihan yang dimiliki orang yang berakhlak buruk hanya akan membawa kerugian yang besar bagi sesama.
Saudaraku, marilah kita belajar mengimplementasikan nilai2 agama kita ini dalam keseharian kita, semoga Tuhan selalu menuntun hati kita pada kebenaran, amin.... (Sml)

IKHLAS MENOLONG SESAMA


Saudaraku, dalam hidup ini mungkin kita pernah merasa dirugikan secara materi, mungkin oleh teman, tetangga, kenalan, atau orang yang belum kita kenal, atau bahkan mungkin oleh makhluk Tuhan selain manusia semisal binatang atau alam semesta pun bisa terjadi.  Dalam hal kita dirugikan oleh sesame manusia, kejadian/penyebabnya pun bisa ber-macam2, misalnya dipinjam tetapi tidak dibayar kembali, ditipu, digelapkan, dicuri, diperas, dan lainnya. Bagaimana sebaiknya kita menyikapi hal-hal semacam itu?
Saudaraku, sebagai sesama manusia kita memang diperintahkan untuk saling menolong: yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kurang mampu, yang tahu menolong yang belum tahu, dan seterusnya……, semuanya dalam rangka menjalankan kebenaran & keadilan menuju kebaikan & kesejahteraan bersama. Namun di sisi lain, pihak yang lemah, kurang mampu, & belum tahu pun harus berupaya untuk kuat, mampu, & tahu, tidak boleh mengandalkan terus pertolongan orang lain.
Saudaraku, bila keadaan orang2 yang merugikan kita itu memang pantas ditolong dan bila kerugian materi kita itu kita nilai kecil atau mampu kita tanggung tanpa mengganggu kehidupan kita, apalagi bila mereka itu telah meninggal, marilah kita belajar mengikhlaskannya, kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, serta kita do'akan bagi kebaikan mereka. Bukankah ketika kita tidak mengikhlaskan pun materi itu sama2 "hilang"? Kalau dengan mengikhlaskan kerugian itu urusan kita tetap lancar, mengapa harus kita paksa mereka yang sedang dalam kesulitan (dan lebih membutuhkan) untuk membayar kembali? Dengan belajar mengikhlaskannya hati kita akan dilatih untuk lebih ikhlas, dan semoga hati akan lebih tenang, jiwa raga lebih sehat, Tuhan mencatatnya sebagai amal kebaikan yang berpahala, atau Tuhan menyimpannya untuk kebaikan kita maupun anak-cucu kita di kemudian hari.
Namun, bila ada niat/keinginan dari mereka untuk mengembalikan tetapi secara materi tidak mampu, sebaiknyalah kita tawarkan/berikan jalan lain agar niat/keinginan mereka dapat terlaksana misalnya diganti dengan melakukan pekerjaan tertentu, atau lainnya sesuai kesepakatan & tidak memberatkan, serta do'akan mereka agar dilancarkan urusannya di kemudian hari.
Saudaraku, tidak sedikit perintah & anjuran Agama (Islam) kepada kita untuk membantu sesama dan menjanjikan balasan kebaikan/pahala dari Tuhan, misalnya: 1) bahwa barangsiapa berusaha menghilangkan kesulitan seorang mukmin di dunia maka Allah akan menghilangkan kesulitan orang tersebut pada hari Kiamat; 2) shadaqah itu memadamkan amarah Tuhan dan mencegah kematian yang buruk; 3) tangan di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan di bawah (penerima); 4) orang yang berusaha bagi kepentingan orang2 janda & orang miskin sama seperti orang yang berusaha di jalan Allah; 5) orang Islam yang bercocok tanam atau menanam buah-2an, lalu dimakan burung, atau manusia, atau binatang, maka tiada lain kecuali ia memperoleh pahala shadaqah.
Saudaraku, bila keadaan mereka sebenarnya mampu tetapi tidak memiliki niat/keinginan untuk mengembalikan, ingatkan & sadarkanlah mereka dengan cara yang baik serta do'akanlah agar mereka diberi petunjuk. Selama urusan kita masih berjalan tanpa mereka mengembalikan kerugian kita, sebaiknya kita hindari cara2 pemaksaan. Pengalaman semacam itu kita jadikan catatan dan pembelajaran bagi kita & anak-cucu kita di waktu2 mendatang untuk lebih ber-hati2.
Saudaraku, marilah kita berusaha menolong sesama terutama yang lemah, jangan pernah merugikan/menipu orang lain, serta berusahalah supaya tidak tertipu oleh orang lain. Namun kalau tetap terjadi kita dirugikan/tertipu oleh orang lain, selama kita sikapi sesuai perintah Tuhan serta dengan keikhlasan & kesyukuran, maka yakinlah kita pasti akan dibaikkan Tuhan, baik ketika kerugian kita dikembalikan maupun ketika tidak dikembalikan. Semoga kita dikelompokkan Tuhan dalam kelompok orang2 yang berhati ikhlas, penuh kesyukuran, amin... (Sml)


MEMILIKI JIWA BERBAGI


Saudaraku, tidaklah salah hati kita senang ketika menerima pemberian/pertolongan orang lain, oleh karena itu sepantasnya kita berterima kasih. Yang perlu kita pikirkan, seberapa banyak orang yang mampu, siap & senang memberi dibanding dengan orang yang hanya siap & senang menerima?
Urusan memberi dan menerima sebenarnya tidak hanya mencakup soal materi, melainkan juga non materi misalnya waktu/kesempatan, perhatian, pemikiran/saran/pendapat, tenaga, dsb.   Namun mengingat kemampuan sosial-ekonomi masing2 orang (anggota masyarakat) tidak sama dimana kemapuan sosial-ekonomi yang kuat hanya dimiliki sebagian kecil masyarakat tetapi semua orang membutuhkan materi untuk hidup, di samping sifat materialis dari sebagian anggota masyarakat, maka soal materilah yang menjadi dominan.
Saudaraku, sebagai orang beriman, seyogyanyalah kita berupaya melaksanakan tuntunan Tuhan sesuai kemampuan kita. Agama (Islam) mengingatkan antara lain bahwa tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (menerima). Tuhanpun berjanji bahwa orang yang memudahkan urusan orang lain akan dimudahkan urusannya. Tuhan juga mengecam orang yang bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang sementara tetangganya tidur dalam kelaparan. Masih banyak lagi anjuran dan perintah lain yang intinya mendorong manusia (khususnya orang Islam) untuk berbagi/menolong sesama baik dengan materi maupun non materi.
Saudaraku, bila kita sudah dalam kategori mampu dalam soal materi (sesuai batas ukurannya), bersyukurlah dengan menunaikan perintah agama yang terkait dengan materi (seperti zakat, infaq, sedekah, kurban, aqiqah, zakat fitrah, dsb), kewajiban kepada negara (pajak, retribusi, dsb), dan lainnya.
Namun bila kemampuan materi kita belum memungkinkan untuk berbagi secara memadai, marilah kita tanamkan dalam hati/jiwa kita kesediaan & tekad yang kuat untuk menunaikan perintah agama yang terkait dengan materi, kewajiban kepada negara & lainnya tsb bila suatu saat kita diberi kemampuan. Seiring dengan itu, marilah kita biasakan berbagi, berkontribusi &melayani sesama dengan kesyukuran &senang hati, mulai dari hal2 kecil yang mudah/bisa kita lakukan maupun yang memerlukan sedikit materi (belum memerlukan materi yang besar). Kalau saat2 ini kita masih menjadi pihak penerima, maka bertekad, berusaha & berdo'alah supaya di saat2 berikutnya kita bisa menjadi pemberi.
Saudaraku, baik yang sudah kuat maupun yang belum kuat secara materi, kalau kita renungkan, maka dalam transaksi2 antar manusia pada keseharian kita sebenarnya kita semua sudah saling memberi dan menerima. Contohnya ketika seorang kepala keluarga membayar/memberikan gaji kepada pembantunya, sebenarnya pembantu itu pun telah memberikan jasa pelayanannya kepada keluarga tersebut. Jadi sebenarnya kedua pihak saling membutuhkan, saling memberi, dan saling menerima. Tentu sesuatu yang diberikan dan diterima oleh masing2 pihak berbeda tetapi saling dibutuhkan pihak lainnya tersebut. Mari kita sadari bahwa memang sudah menjadi kodrat manusia yang sejak kelahirannya tak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang lain; betapapun kecilnya setiap orang pasti membutuhkan orang lain. Oleh karena itu marilah kita pupuk jiwa kesediaan berbagi & saling menolong ini menuju kesejahteraan bersama, sesuai perintah Tuhan. Semoga kita selalu dalam lindungan dan bimbingan Tuhan, dimampukan & diringankan hati kita untuk berbagi, amin... (Sml)

Rabu, 06 Juni 2018

AGAMA DAN AKHLAK MULIA


Saudaraku, mungkin kita pernah berpikir, kenapa bangsa kita yang dikenal dunia sebagai bangsa yang taat beragama, ramah, dan berjiwa tolong-menolong (gotong-royong) yang tinggi, tetapi tindakan2 kejahatan dari yang kecil sampai yang besar di negeri kita ini masih tetap banyak? Bukankah seharusnya para pemeluk agama yang taat & dilandasi keimanan yang kuat serta pemahaman agama yang memadai akan mampu menahan diri dari tindakan2 yang tidak pantas, tidak terpuji, apalagi tindakan kejahatan? Saudaraku, agama (khususnya Islam) mengatur antara lain hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama makhluk Tuhan yaitu hubungan dengan sesama manusia termasuk dirinya sendiri, hubungan dengan makhluk hidup, serta hubungan dengan alam semesta).
Jadi, untuk menghasilkan pemeluk agama yang mampu menjaga diri dari melakukan tindakan tercela/kejahatan tersebut, maka agama tidak cukup hanya dipahami saja, tetapi juga perlu diimplementasikan (dipraktekkan) secara nyata & konsisten dalam kehidupan se-hari2 sampai menjadi kebiasaan/sifat/karakter diri setiap orang yang dilandasi keimanan yang kuat.
Kalau demikian, apanya atau bagian mana yang memerlukan perbaikan? Sudahkah agama dipahami dengan benar, dilaksanakan, dan diimplementasikan dalam kehidupan se-hari2, serta dilandai dengan keimanan yang kuat? Bila ke-4 hal tersebut (memahami, melaksanakan, mengimplementasikan, & dilandasi keimanan) sudah terpenuhi, saya yakin para pemeluk agama mampu menahan diri dari tindakan2 tak terpuji/kejahatan tersebut. Namun bila salah satunya tidak terpenuhi maka mereka akan sulit menahan diri (dalam jangka panjang) dari tindakan2 tercela/kejahatan.
Pemeluk agama yang sudah paham 100% ajaran agama, sudah melaksanakan ajaran agama secara rutin, tetapi kehidupan se-hari2 masih diwarnai dengan tindakan2 tercela (misalnya diam2 mengurangi timbangan/ukuran yang dijual dalam berdagang, diam2 mencampurkan barang rusak dengan barang yang baik agar terjual, sikap egois/menang sendiri/angkuh/tidak ramah, tidak mau berkorban untuk kebutuhan diri sendiri, tidak mau berbagi, menunda-nunda membayar utang, dsb), boleh jadi pemeluk agama tersebut baru menjalankan kesalehan/ibadah ritual dan belum menjalankan kesalehan/ibadah sosial (implementasinya). Yang diperlukan mereka terutama adalah pemahaman & praktek terhadap sifat2/akhlak mulia (jujur, ikhlas, sabar, syukur, dsb) serta pemantapan keimanan.
Namun pemeluk agama yang berpandangan tidak perlu menjalankan ajaran agama asalkan sudah berbuat baik pada sesama, itu pun tidak dapat dibenarkan karena landasan/motivasi perbuatan baik tersebut masih dapat dipertanyakan.
Saudaraku, marilah kita berusaha memahami ajaran agama dengan baik, meyakini dengan keimanan yang kuat dalam hati, melaksanakan dengan se-baik2nya, dan mengimplementasikannya pada setiap perkataan, sikap, dan tindakan kita dari hari ke hari. Saudaraku, marilah kita berdo'a, semoga kita dan seluruh anak bangsa ini senantiasa di dalam lindungan, petunjuk dan kasih-sayang Tuhan YMK, sehingga mampu menjaga diri dari tindakan2 tercela, tidak pantas, dan melanggar hukum. Aamiin...... (Sml)

KEHORMATAN


Saudaraku, kehormatan diri & keluarga di lingkungan masyarakat biasanya diinginkan semua orang, namun sebagian orang memaknai kehormatan itu sebatas status sosial seseorang (semakin tinggi pangkat/jabatan/status sosial dan semakin besar kekayaan materi seseorang otomatis semakin terhormat). Oleh karena itu tidak heran kalau banyak orang ber-lomba2 mengejar "kehormatan" (semu) tersebut dengan segala cara & membabi buta, bahkan sampai melupakan kehormatan itu sendiri. Betapa tidak? Untuk meraih "kehormatan" (semu) itu banyak orang rela mengorbankan hati nurani dan melakukan tindakan2 yang tidak pantas bahkan melanggar aturan/hukum negara/manusia maupun hukum agama/Tuhan seperti menyuap, berkolusi, menipu, mencuri, merampok, memfitnah, dsb. sampai membunuh.
Saudaraku, faktor utama yang menenentukan kehormatan diri/keluarga bukanlah tingginya status sosial & besarnya harta, melainkan baik-buruknya tindakan/perilaku, sikap dan perkataan kita sendiri, serta niat yang mendasari, yang ada di dalam hati kita. Kalau ucapan, sikap & tindakan serta niat hati kita sudah baik/benar di mata Tuhan maka sudah pasti baik/benar di mata manusia yang baik, karena di mata manusia yang tidak baik sesungguhnya tidak mengenal yang namanya kehormatan (yang sebenarnya). Status sosial dan kekayaan materi memang kita butuhkan tetapi sebenarnya bersifat netral: bila berada di tangan orang2 baik tentu bisa meningkatkan kehormatan diri & kemaslahatan umat/sesama, tetapi juga bisa menghancurkan kehormatan bila melekat di tangan orang2 yang tidak baik.
Saudaraku, terhadap kekayaan materi, berikhtiarlah memperolehnya secara maksimal tetapi jangan berhati materialis, penuhilah kewajiban2 agama, sesama & negara yang terkait dengan materi, jadikan sebagai sarana pengabdian kita pada Tuhan & sesama. Terhadap status sosial/pangkat/jabatan janganlah ambiisius atau meminta-minta apalagi memaksakan kehendak. Ingatlah bahwa Tuhan tidak akan membantu menanggung beban pangkat/jabatan seseorang yang diperoleh dengan meminta-minta apalagi memaksa. Pangkat/jabatan bukanlah kursi/kedudukan untuk diduduki & dinikmati semata, melainkan amanat/kepercayaan yang harus ditunaikan/dilaksanakan dengan se-baik2nya & dipertanggungjawbkan di dunia & akherat di hadapan Tuhan YMK.
Saudaraku, marilah kita jaga & bersihkan hati kita dari niat2 yang tidak benar, marilah kita berikan yang terbaik bagi sesama mulai dari ucapan, sikap, sampai perilaku/tindakan kita, dengan penuh kesyukuran pada Tuhan YMK. Semoga kita semua selalu dituntun Tuhan YMK ke jalan yang benar & diberi kekuatan menjalaninya, sampai akhir hayat kita, amin.....(Sml)

Selasa, 05 Juni 2018

BELAJAR MENGENDALIKAN DIRI


Saudaraku, terutama yang hampir setiap hari naik kendaraan pribadi (motor/mobil) pergi – pulang dari rumah ke tempat bekerja, lebih2 bila jaraknya cukup jauh yang mengharuskan pergi pagi pulang malam, mari kita renungkan sejenak dampak kegiatan rutin tersebut dalam jangka panjang, baik terhadap diri kita maupun orang lain.
Karena meledaknya jumlah kendaraan yang jauh melebihi kapasitas jalan yang dilewati, maka jalan menjadi penuh sesak dengan kendaraan, dan sulit dihindarkan terjadinya gesekan-gesekan diantara sesama pengguna jalan yang semua ingin duluan lewat.  Akibatnya mungkin tanpa kita sadari dari hari ke hari selama di perjalanan itu kita telah mempraktekkan perilaku2 buruk kepada pengguna jalan lain (misalnya berkata-kata kasar, mengumpat, mencaci-maki, dsb) yang tanpa disadari dapat membentuk/memupuk sifat2 tercela/negatif seperti keserakahan, keegoisan, ketidaksabaran (mudah marah), kecerobohan, mau menang sendiri, bahkan sampai pada pengabaian keselamatan jiwa orang lain & diri sendiri.
Ketika sudah dikejar waktu, yang ada di pikiran kita mungkin hanya satu: ingin cepat2 sampai di tempat bekerja supaya tidak terlambat. Mungkin hal itu tidak salah, tetapi kalau kita kemudian melakukan tindakan2 yang berisiko/membahayakan jiwa seperti mengebut, tidak mau memberi kesempatan para penyeberang jalan atau pengguna jalan lain, menghabiskan/memenuhi seluruh badan jalan, dsb, itu yang menurut saya tidak baik. Bukankah Tuhan mengajarkan kita untuk berjiwa pemberi (bukan peminta), sabar, hati-hati/cermat, dan menghargai sesama?  Bagaimana kita bisa memiliki jiwa pemberi atau menghargai sesama kalau memberi kesempatan penyeberang jalan saja tidak mau? Bagaimana kita bisa sabar kalau setiap ada hambatan/gangguan sedikit saja terhadap kepentingan kita kita langsung marah? Bagaimana kita bisa hati-hati/cermat kalau segalanya ingin serba cepat dalam waktu yang sangat singkat? Bagaimana kita bisa menghargai sesama kalau kita begitu mudah mengabaikan keselamatan jiwa orang lain?  
Saudaraku, kalau rutinitas (sebagai masyarakat komuter) itu memang tidak bisa kita hindari, terimalah dengan hati ikhlas & senang, jadikanlah tantangan itu sebagai lahan untuk berlatih sabar, memupuk jiwa pemberi, dan menumbuhkan sifat2 positip lainnya. Bukankah bila dilandasi dengan keikhlasan hati, hal2 yang tadinya terasa berat dapat menjadi lebih ringan? Bukankah mencari nafkah/kehidupan untuk keluarga itu tugas mulia kita (perintah) dari Tuhan? Marilah tugas mulia (perintah Tuhan) itu kita tunaikan dengan se-baik2nya dan tidak perlu kita nodai/kotori dengan tindakan2 yang tak terpuji. Justru marilah kita iringi waktu2 perjalanan kita itu dengan dzikir & mengingat Tuhan dalam hati, sebutlah nama-Nya selalu agar hati kita diberi ketenangan. Ingatlah keluarga kita di rumah yang setia menunggu dan membutuhkan kita,  demikian juga Saudara2 kita para pengguna jalan yang lain pun ditunggu keluarganya masing2. Selanjutnya, perhitungkanlah waktu tempuhnya dan cobalah berangkat lebih awal agar memiliki cadangan waktu yang cukup, dengan mengutamakan keselamatan.
Namun, bila jaraknya memang cukup jauh & melelahkan bila setiap hari pergi-pulang, maka sebaiknya tidak dipaksakan pulang setiap hari. Pertimbangkanlah kemungkinan menginap di mess atau tempat lain yang bisa untuk beristirahat di tempat kerja atau sekitarnya yang biaya sewanya tidak memberatkan.
Kepada Saudaraku para Pemberi pekerjaan dan para Pemilik/Pengurus perusahaan/institusi, bila terdapat anggota/pegawai/karyawan yang seperti itu, bantulah mereka misalnya dengan menyediakan mess (tempat bermalam) yang murah sewanya atau digratiskan, iringi dengan hati senang, niatkan untuk membantu mereka dengan ketulusan & keikhlasan, semoga akan membaikkan semuanya, amin…. Semoga permasalahan tersebut suatu saat ditemukan jaan keluar yang terbaik, melembaga, dan dapat dirasakan manfaatnya, amin… (Sml)

MELATIH KEIKHLASAN DENGAN SEGERA BERBAGI

Saudaraku, sudah sepantasnya bila kita ingin melakukan kebaikan atau memberi manfaat pada 
orang lain secara bermakna dalam arti benar2 dirasakan manfaatnya oleh orang lain/sesama.
Namun, apakah kebaikan2 yang menurut kita sepele atau kecil & sangat mudah melakukannya otomatis tidak/kurang bermakna bagi orang lain? Menurut saya tidak selalu demikian. Selama yang kita lakukan/berikan itu diperlukan orang lain, apalagi banyak orang yang memerlukannya, 
--meskipun sangat mudah/ringan kita lakukan/berikan atau sangat kecil nilainya--  berarti apa yang kita lakukan/berikan itu bermakna bagi orang lain. Contohnya, ketika seseorang hampir tenggelam di laut, mungkin sepotong papan kayu lebih bermakna daripada rupiah yang banyak karena yang diperlukan saat itu adalah bagaimana supaya tidak mati tenggelam. Demikian juga orang yang hampir mati karena kekurangan darah (atau kehausan), maka yang diperlukan adalah sumbangan darah yang sesuai dari orang lain (atau segelas air putih), bukan simbol2 keduniaan. Jadi, yang menentukan bermakna atau tidak apa yang kita lakukan/berikan bagi orang lain adalah kesesuaian dengan kebutuhan orang lain tersebut, bukan besar-kecinya nilai materi atau mudah-tidaknya kita lakukan.
Saudaraku, oleh karena itu, marilah kita belajar segera melakukan kebaikan (perbuatan baik) walaupun kecil, tidak perlu menunggu sampai kita mampu melakukan kebaikan yang besar baru berbuat kebaikan. Bukankah dengan melakukan kebaikan2 kecil itu kita dilatih untuk ikhlas & senang dalam berbuat baik, supaya kita bisa tetap ikhlas & senang melakukannya ketika kita sudah mampu? Bukankah yang kecil2 pun dapat menjadi besar kalau kita lakukan terus-menerus? Lagi pula, siapa yang bisa menjamin kita masih hidup sampai kita mampu melakukan kebaikan besar?
Saudaraku, yang paling berhak menilai kebaikan kita itu besar atau kecil hanyalah Tuhan, bukan manusia. Tuhan Maha Mengetahui isi hati dan kemampuan berbuat baik setiap orang. Jadi Tuhan sangat tahu siapa yang sudah berbuat kebaikan sesuai kemampuannya dan yang belum sesuai, siapa yang berbuat kebaikan dengan keikhlasan hati dan yang dengan niat lain, siapa yang sungguh2 dan yang ber-pura2. Terkait hal itu, marilah kita bertanya pada hati nurani kita, apakah kita telah berbuat kebaikan sesuai dengan kemampuan kita, atau masih kurang, dan apakah hati kita ikhlas & senang dengan perbuatan baik kita? Bila hati nurani kita mengatakan masih kurang, misalnya kita melihat orang yang keampuannya kita nilai di bawah kita ternyata bisa melakukan kebaikan yang melebihi kita  kemudian mungkin hati kita ragu2, maka segeralah lakukan kebaikan2 berikutnya dan berikutnya dengan kesadaran, keikhlasan & kesyukuran, bukan karena malu atau takut dikatakan/dinilai pelit oleh orang lain.
Oleh karena itu, marilah kita melatih keikhlasan kita dengan melakukan sebanyak mungkin kebaikan2 kecil yang mudah kita lakukan, selanjutnya kita tingkatkan secara bertahap 
sesuai kemampuan kita.
Saudaraku, mari kita berdo'a, semoga dari waktu ke waktu hati kita semakin diisi 
dengan keikhlasan & kesyukuran, diri kita pun semakin dimampukan oleh Tuhan YMK
 agar dapat melakukan kebaikan & memberi manfaat 
yang lebih besar bagi sesama, amin... (Sml)

KESEMPATAN DAN KESEHATAN


Saudaraku, kalau kita renungkan, mungkin sebagian kita baru sadar bahwa selama ini kita kurang mengoptimalkan 2 (dua) karunia Tuhan yang sering dilupakan orang, yaitu pertama ‘kesempatan’, dan kedua ‘kesehatan’. Marilah kita bersama merenungkan sejenak kedua hal tersebut.

Pertama: Kesempatan.
Kesempatan dapat dimaknai peluang/ketersediaan waktu mulai menit demi menit dan jam demi jam yang kita habiskan dari hari ke hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun, sehingga pada akhirnya harus kita memaknai kesempatan sebagai umur (kesempatan hidup) kita di dunia ini.
Dalam hal ketersediaan waktu setiap harinya, apakah kita telah memanfaatkan dengan se-baik2nya kesempatan 24 jam per hari yang diberikan Tuhan dengan cuma2 ini? Masihkah kita suka me-nunda2 waktu dalam melaksanakan tugas/kewajiban kerja, berbuat kebaikan, atau melaksanakan perintah Tuhan? Masihkah kita suka meng-hambur2kan waktu untuk hal2 yang tidak perlu, atau menghabiskan waktu setiap hari hanya untuk menuruti keinginan2/kepuasan2 sesaat kita?
Saudaraku, marilah kita syukuri waktu/kesempatan 24 jam per hari ini dengan membagi-bagi dan mengisinya dengan aktivitas2 yang dibutuhkan secara adil/proporsional sesuai petunjuk Tuhan, yang tentu dimaksudkan bagi kebaikan&kesejahteraan manusia. Hindari kebiasaan me-nunda2 pekerjaan/aktivitas yang memang sebaiknya ditentukan jadual pelaksaannya supaya tidak menumpuk&kehabisan waktu di ujungnya, tidak berantakan hasilnya, dan tidak menimbulkan penyesalan. Hindari meng-hambur2kan waktu untuk hal2 yang tidak berguna bagi diri sendiri maupun sesama, atau bahkan merugikan kesehatan/keimanan/lingkungan.
Selanjutnya, bila kesempatan dimaknai sebagai umur kita di dunia ini, maka lakukanlah dengan kesungguhan hati kegiatan2 yang dibutuhkan & harus dilakukan pada setiap tahapan umur kita, baik ketika usia anak2, usia muda/remaja, usia dewasa, maupun usia tua, bahkan usia sangat tua. Ketika usia masih anak2, muda/remaja & menginjak dewasa, isilah waktu dengan akttivitas2 dalam rangka membekali diri dengan keimanan/agama yang baik, budi pekerti luhur (akhlak mulia), ilmu pengetahuan, keterampilan & keahlian yang mendalam pada pilihan bidang tertentu; semua itu ibarat senjata/alat/syarat yang diperlukan agar dapat menjalani usia dewasa & usia tua dengan keadaan yang lebih baik terutama kemandirian ekonomi & sosialnya. Ketika usia dewasa & usia tua, bila kita sudah bekerja atau punya usaha atau profesi, mandiri secara ekonomi, membentuk keluarga, dan bisa berbagi pada sesama, baik di lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, organisasi, dsb. maka lakukanlah semuanya  --kewajiban pada pekerjaan, keluarga, maupun pada sesame--  dengan kesungguhan, keikhlasan & kesyukuran; namun bila kita belum seperti keadaan di atas, bertawakkallah pada Tuhan dengan berikhtiar sungguh2, taat pada Tuhan, sabar, pasrah & ikhlas dengan pilihan/ujian Tuhan.
Saudaraku, walau mungkin terasa lama ketika kita menjalani usia ini, tetapi faktanya umur manusia hanyalah satu potongan kecil dari panjangnya umur jagad raya ini yang konon sudah jutaan tahun. Kalau jatah umur ini kita penuhi dengan kegiatan2 yang baik & bermanfaat, serta dengan memperbaiki diri untuk menjadi lebih baik & lebih baik lagi, serta dilandasi dengan kesyukuran, boleh jadi tidak terasa lama. Tetapi bila hati kita tidak diisi dengan kesyukuran, keikhlasan, kepasrahan, mungkin sekali hari2 dalam hidup ini terasa begitu lama & menyiksa. Jadi sebelum terlambat, marilah kita isi umur kita ini dengan menebar kebaikan & kemanfaatan bagi sesama dengan hati yang dipenuhi kesyukuran, keikhlasan & kepasrahan.

Kedua: Kesehatan.
Terkadang kita menyaksikan bahwa orang baru menyadari pentingnya/mahalnya kesehatan ketika sedang sakit. Orang yang sakit, apalagi sakit parah atau berkepanjangan (kronis), akan sangat terhalang untuk dapat melakukan aktivitas/kegiatan/pekerjaan maupun tindakan2 kebaikan lainnya. Jangankan untuk bekerja, untuk makan/minum pun tidak enak, tidur juga tidak nyenyak. Oleh karena itu bila kita dalam keadaan sehat lahir batin, mari kita syukuri dengan menggunakan kesehatan badan & jiwa ini untuk berbakti kepada Tuhan dan berbuat baik kepada sesama, menjaga kesehatan, melakukan/menerapkan pola hidup sehat sesuai petunjuk Tuhan. Kesempatan/umur menjadi kurang bermakna bahkan tidak bermakna ketika dilanda sakit karena tergerusnya kemampuan badan untuk memanfaatkan kesempatan/umur tsb secara baik/produktif. Kesehatan adalah peluang atau modal awal bagi semua kemungkinan pencapaian prestasi dan keberhasilan. Bagaimana orang dapat mengukir prestasi gemilang bila selalu sakit2an/lemah fisiknya/rawan penyakit karena mengabaikan kesehatan? Kesehatan diri (jiwa-raga) adalah awal dari ‘kesehatan’ bidang-bidang lain (ekonomi, keuangan, social, dsb). Ketika kita sudah ber-hati2 menjaga kesehatan, tetapi suatu saat menderita sakit, maka itulah ujian Tuhan. Tetaplah bertawakkal bagi kesehatan kita, ikhlaskanlah hati, berserahlah diri pd Tuhan. Mohonlah ampun & bertekadlah untuk taat pada Tuhan, menjaga kesehatan & mengisi waktu dengan kebaikan2. Bagi orang Islam, sakitnya orang yang hatinya penuh syukur, ikhlas,&pasrah, adalah sarana penghapus dosa & ujian bagi kenaikan derajad/kemuliaan di sisi Tuhan.

Saudaraku, jadi nyatalah bahwa kesempatan/umur dan  kesehatan itu salah satu karunia/nikmat Tuhan yang diberikan cuma-cuma kepada manusia (kita), yang selayaknyalah kita syukuri. Bila kita syukuri, maka pada akhirnya segala kebaikan/manfaatnya juga kembali untuk kebaikan kita (manusia) juga; sebaliknya bila kita kufuri (tidak kita syukuri) maka kerugian/kesengsaraanlah yang akan kita (manusia) dapati.
Saudaraku, marilah kita berdo'a semoga kita selalu dibimbing dan diringankan Tuhan sehingga bisa memanfaatkan kesempatan & kesehatan ini dengan se-baik2nya bagi kebaikan diri kita dan kebaikan sesama, amin... (Sml)

SABAR DAN IKHLAS MENDIDIK ANAK


Saudaraku para orang tua, anak2 kita adalah karunia sekaligus amanah/titipan Tuhan pada kita untuk kita pelihara dengan segenap kasih sayang, kita didik & bimbing dengan baik & bijak agar memiliki akhlak mulia & menjadi anak soleh/solehah, mandiri, berguna & membawa kebaikan bagi sesama manusia & sesama makhluk Tuhan.
Nah, di dalam proses memelihara & mendidik anak2 kita itulah kita perlu membekali diri dengan pemahaman & praktek/pengalaman yang cukup tentang berbagai hal terutama tentang akhlak2 mulia & keimanan (agama) yang benar, karena hal itulah yang akan menjadi bekal/pegangan awal & utama bagi anak2 kita dalam menjalani kehidupan mereka yang tentu akan dihadapkan pada berbagai masalah, kesulitan, cobaan, godaan, dan sejenisnya, yang boleh jadi sangat berbeda dengan yang kita hadapi & kita alami karena perkembangan zaman.
Selain itu, yang tidak kalah pentingya di dalam proses memelihara & mendidik anak2 kita adalah jiwa besar, kerelaan & keikhlasan kita menerima sikap, perkataan maupun perlakukan yang tidak menyenangkan atau bahkan menyakitkan dari anak2 kita, karena hal2 itu mungkin tidak terhindarkan, dan mungkin itulah cobaan Tuhan bagi kita para orang tua. Bukankah kita yakin bahwa keadaan anak2 kita memang butuh bimbingan orang tua karena mereka belum tahu, belum sampai pikirannya, atau belum cukup pengalaman/matang jiwanya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan yang seharusnya? Mari kita percaya bahwa sikap, perkataan & perlakuan anak2 kita yang menyakitkan itu tidak mereka lakukan dengan kesengajaan, tetapi se-mata2 karena keterbatasan pribadi/pikiran/pengalaman mereka, atau kebelumtahuan mereka, dan kepercayaan itulah yang dapat membantu orang tua agar dapat berjiwa besar  serta bersikap, bertutur kata & bertindak bijak. Anggaplah kita sedang menelan pil pahit tetapi menyehatkan/menguatkan & bermanfaat bagi kita & anak2 kita; anggaplah itu risiko yang harus kita hadapi, bahkan merupakan ujian bagi kesabaran kita; jadi, tetaplah menasihati & mendidik dengan kasih-sayang & memberikan contoh yang baik (kesabaran, perkataan yang menyejukkan, dsb). Janganlah kita menuruti perasaan sakit hati, tersinggung, kecewa, dsb itu dengan membalas menyakiti, membalas dengan perkataan kasar/kotor/caci maki, dsb seperti kita membalas tindakan/perlakuan buruk yang dilakukan orang lain kepada kita; kalau tindakan itu (membalas dengan keburukan) yang kita lakukan, berarti jiwa kita masih dikuasai ego kepuasan sesaat, naluri membalas menyakiti orang yang telah menyakiti kita, dan belum didasari niat untuk mendidik anak2 kita; lalu apa bedanya orang tua dengan orang lain yang bukan apa2? Ingatlah, mereka dilahirkan ke dunia dengan perantaraan kita, mereka adalah penerus kita, mereka adalah darah-daging kita; baik-buruknya anak2 kita dapat menjadi cermin baik-buruknya orang tua. Baik-buruknya anak2 kita adalah tanggung jawab kita orang tua, kita tidak bisa lari dari tanggung jawab mendidik anak2 kita terutama pada saat usia-usia anak masih ‘di bawah pengampuan’. Tetapi, itu semua berpulang pada kita masing2 sebagai orang tua, dan memang kita bisa memilih, tetapi semua pilihan memiliki konsekuensi risiko (repot/susah/sakit), mungkin di saat2 awal (di depan) atau di saat2 akhir (di belakang). Kalau kita tidak mau repot, susah, sakit di awal (ketika anak2 kita masih kecil) maka boleh jadi kita akan sangat repot, susah, bahkan sakit di saat2 akhirnya (ketika anak2 kita sudah menginjak besar/dewasa) karena terlambat menasihati/membimbing mereka. Kalau kita memilih tidak mau repot/susah/sakit, boleh jadi kita akan sangat kecewa & menyesal, karena justru di saat2 akhir itu kerepotan/kesusahan/kesakitan (akibat dari tindakan anak2 yang tak terkendali) akan datang. Mungkin yang terbaik, menurut saya adalah kita mau repot/susah/sakit di depan dan tetap bersiap repot/susah/sakit sampai jiwa kita dipanggil Tuhan, karena itulah yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Saudaraku, demi kebaikan anak2 kita, cucu2 kita, dan generasi penerus bangsa ini, marilah kita tanamkan/resapkan pemahaman & praktek akhlak mulia & Iman/Agama dengan baik ke dalam jiwa & hati anak-cucu kita secara dini, semoga akan menjadi bekal mereka dalam menghadapi kerasnya hidup di zaman yang tidak kita alami nanti. Semoga anak-cucu kita dan generasi penerus bangsa tercinta ini selalu dilindungi, diberi petunjuk & pertolongan Tuhan YMK, amin...(Sml)

Senin, 04 Juni 2018

MENGGUNAKAN UMUR


Saudaraku, bila kita rasakan dari hari ke hari yang kita jalani, seakan umur kita ini cukup lama. Tetapi bila dibandingkan dengan umur bumi ini sejak diciptakan Tuhan yang konon sudah jutaan tahun, maka betapa sangat sebentarnya umur kita. Umur seseorang hanyalah potongan waktu yang kecil dari perjalanan waktu (umur bumi) yang panjang.
Dari rahim seorang Ibu, (bayi) kita dilahirkan di dunia, menjalani kehidupan di alam fana (dunia) ini, dan diakhiri dengan kematian. Itulah siklus hidup manusia di dunia yang senang atau tidak senang harus dijalani setiap orang. Selanjutnya sesuai dengan keimanan kita, kita harus menjalani proses menuju  kehidupan di alam keabadian, alam Akherat. Di alam keabadian itulah semua orang akan mempertanggungjawabkan & menerima balasan baik atau buruk sesuai dengan baik atau buruknya perbuatan setiap orang ketika hidup di dunia. Jadi kematian bukan akhir perjalanan manusia, tetapi justru merupakan awal dari perjalanan wajib selanjutnya bagi setiap manusia. Dunia adalah tempat manusia menanam, berbuat, memilah-memilih&menetapkan berbagai pilihan hidup, dan tempat manusia menjalani ujian hidup baik kesenangan maupun kesedihan, sedangkan Akherat adalah tempat memetik hasil tanaman, perbuatan, pilihan, dan ujian, yang tak seorang pun dapat menghindarinya, juga tak seorang pun dapat kembali ke dunia untuk memperbaiki tindakannya.
Bila kematian merupakan akhir dari perjalanan manusia, maka betapa enaknya manusia dan betapa sengsaranya makhluk2 selain manusia (alam semesta, tanaman, binatang, dsb) yang semua diciptakan hanya untuk manusia. Betapa tidak adilnya Tuhan kalau manusia bebas dari pertanggungjawaban atas perbuatannya. Oleh karena itu maka manusia yang diciptakan Tuhan sebagai makhluk paling sempurna & paling banyak diberikan fasilitas hidup (alam semesta ini) dituntut mempertanggungjawabkan perbuatannya ketika di dunia. Kalau di pengadilan dunia sebagian orang masih bisa terhindar dari balasan (hukuman) atas kesalahan yang dapat disembunyikan, maka di Akherat tak seorang pun dapat lolos dari pengadilan Tuhan. Di Akheratlah tempatnya pengadilan sejati, di mana setiap orang mendapatkan balasan yang seadil-adilnya.
Saudaraku, sudah siapkah kita menghadapi kematian & mempertanggungjawabkan segala perbuatan kita? Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, semua orang pasti akan mengalami kematian. Ke manapun kita lari menjauhinya, dia akan mengejarnya karena kematian ibarat bayang-bayang yang selalu dekat & mengikuti diri kita. Oleh karena itu, selagi jiwa masih di kandung badan, marilah kita isi umur kita ini dengan memberikan kemanfaatan se-besar2nya bagi sesama manusia & sesama makhluk Tuhan. Lakukan segala perintah Tuhan yang wajib maupun yang sunat sesuai kemampuan kita, dan tinggalkan segala yang dilarang Tuhan. Lakukan kebaikan & ajaklah sesama pada kebaikan, tinggalkan keburukan & cegahlah sesama dari keburukan. Bantulah sesama, berbagilah pada sesama, lakukan yang terbaik pada sesama, dengan senang hati, keikhlasan,& kesyukuran pada Tuhan. Jangan pernah mengharapkan balasan dari sesama atas segala kebaikan yang kita lakukan, serahkan segalanya pada Tuhan. Saudaraku, sekian dulu, semoga kita dimasukkan Tuhan ke dalam golongan orang2 yang selalu bersyukur, memperoleh petunjuk, pertolongan & lindungan-Nya, amin.... (Sml)

MELATIH KETERATURAN DIRI


Saudaraku, tanpa kita sadari mungkin kita pernah merasakan akibat (manfaat) dari hidup teratur maupun akibat (kerugian) dari hidup yang tidak teratur.
Salah satu manfaat keteraturan adalah sehatnya badan. Ketika kita sedang ikut diklat misalnya, di mana kita tinggal di mess/asrama dengan jadwal belajar, makan, olah raga, shalat, tidur, dsb setiap harinya yang sudah ditentukan, badan kita terasa sehat&enak. Demikian juga di rumah, ketika kita dapat membagi waktu setiap harinya secara teratur dengan berbagai kegiatan secara proporsional, badan kitapun akan merasakan sehat&enak.
Selain badan sehat&enak, membiasakan keteraturan juga dapat memperkuat karakter&motivasi diri, menambah keuletan&ketahanan, mempermudah untuk menepati janji/waktu &menjalankan rencana2, menjadikan orang ringan tangan, dan hal2 positip lainnya yang diperlukan dalam menghadapi & menyelesaikan persoalan2 hidup.
Pendeknya, keteraturan akan membantu kesiapan diri secara kumulatif dalam jangka panjang agar dapat melakukan yang terbaik, pada waktu yang tepat, sekaligus menghindarkan diri dari kerugian yang fatal.
Oleh karena itu, marilah kita belajar membiasakan keteraturan, misalnya dengan merencanakan (membuat rencana) aktivitas yang akan (harus) dilakukan, menepati jadual waktu shalat & waktu makan. Dengan cara sederhana tersebut diharapkan kegiatan2 lainnya akan terbantu perealisasiannya, karena di sela2 waktu shalat otomatis kita dalam keadaan siap beraktivitas; nah kalau sudah ada rencana kan tinggal melaksanakan. Apalagi kalau kualitas shalat kita bagus (tepat waktu, dihayati, diterjemahkan dengan tindakan2 kebaikan, &dengan penuh kesyukuran) maka kita akan memiliki motivasi kuat& mendalam ketika beraktivitas yang akan menentukan kualitas hasilnya.
Saudaraku, sebaiknya kita sadari bahwa kebiasaan tidak teratur, sekilas mungkin terasa lebih enak, tetapi sesungguhnya sangat merugikan. Hidup tidak teratur dalam jangka waktu tertentu dapat mengganggu kesehatan tubuh, lebih2 bila kurang aktivitas fisik semisal olah raga. Di saat harus bekerja mungkin terasa ngantuk, lemas, malas, tetapi di saat harus tidur malah tidak bisa tidur. Membiasakan ketidakteraturan juga menyulitkan untuk dapat bekerja &menggunakan waktu secara efektif, melemahkan karakter diri, mempersulit untuk dapat menepati janji/waktu, terbuangnya waktu, memupuk kemalasan, perasaan tersiksa &membosankan, serta hal2 merugikan lainnya, bahkan dapat menyebabkan kerugian yang fatal.
Saudaraku, jangan merasa rugi untuk hidup teratur, jangan pula terlena atau berlama-lama dalam ketidakteraturan. Keteraturan meskipun mungkin tidak menarik, tetapi faktanya menguntungkan pelakunya. Sebaliknya ketidakteraturan mungkin lebih menarik &menyenangkan, tetapi faktanya banyak merugikan. Ingatlah untuk berubah dari teratur menjadi tidak teratur itu mudah, tetapi ingin berubah dari tidak teratur menjadi teratur bukanlah hal yang mudah. Boleh jadi orang hebat yang hidupnya tidak teratur dapat dikalahkan oleh orang biasa yang memiliki kebiasaan hidup teratur.
Jadi bila kita sudah memiliki kebiasaan teratur, peliharalah dengan baik. Bukankah "rajin" itu artinya melakukan pekerjaan tertentu berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan? Seseorang bisa dikatakan “orang baik” bila perbuatan baiknya telah menjadi kebiasaan (bukan hanya sesekali).
Saudaraku, sekian dulu, mohon ma'af atas segala kekurangan, semoga Tuhan berkenan membimbing & melindungi kita, amin.....(Sml)

UTANG BUDI


Saudaraku, barangkali tak seorang pun yang tidak memiliki utang budi; mungkin pada orang lain yang bukan apa2 atau bahkan tidak kita kenal, mungkin pada teman, pada saudara/famili jauh atau dekat…., yang pasti: kita berutang budi pada orang tua kita. Sebagai umat beragama, sudah selayaknyalah kita berusaha membalas budi pada orang yang telah berjasa atau membantu atau berkorban atau berbuat kebaikan bagi kita.
Tetapi, kalau kita sebagai pihak yang berjasa/membantu/berkorban, lakukanlah dengan ikhlas & jangan mengharap balasan dari orang yang kita bantu, serahkan semuanya pada Tuhan yang Maha Tahu kapan & kepada siapa harus membalas. Kata orang bijak: membalas kebaikan itu baik, memulai berbuat kebaikan itu lebih baik, membalas keburukan dengan kebaikan itu lebih baik lagi.
Saudaraku, kalau kita ingin membalas budi/kebaikan kepada orang yang masih hidup mungkin tidak ada masalah. Tetapi, bagaimana kalau orang2 berjasa itu telah meninggal, atau tidak diketahui keberadaannya, atau bahkan tidak diketahui identitasnya?
Saudaraku, mari kita awali dalam membalas kebaikan ini kepada orang tua kita. Bagi kita yang masih memiliki orang tua yang masih hidup, bersyukurlah, do'akan bagi kebaikan mereka, dan berbuatlah yang terbaik selagi masih ada kesempatan berbuat baik secara langsung. Jasa orang tua tak kan pernah terbalaskan oleh anak-anaknya, tugas anak adalah berbakti& berbuat baik pada orang tua. Islam mengajarkan agar kita berbakti pada orang tua supaya anak kita berbakti pada kita. Keridloan Tuhan tergantung keridloan orang tua, demikian juga kemurkaan Tuhan tergantung kemurkaan orang tua. Marilah kita belajar menjadi anak yang berbakti pada orang tua & menjadi orang tua yang baik & penuh kasih sayang pada anak.
Tetapi, bila orang tua kita telah tiada (wafat), yang bisa kita lakukan adalah terutama mendo'akan mereka secara teratur (misal sehabis shalat wajib)&setiap ada kesempatan, melanjutkan silaturrahmi dengan saudara/kerabat &teman2 mereka, melaksanakan pesan2/wasiatnya, sesekalli berziarah ke makamnya, dan selalu berbuat baik pada sesama. Islam mengajarkan bahwa do'a anak saleh pada orang tua yang (ketika masih hidup) telah mendidiknya dapat menjadi tambahan kebaikan/pahala bagi orang tua tersebut meskipun sudah meninggal.
Saudaraku, kalau kita ingin membalas kebaikan kepada orang2 yang sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya, marilah kita arahkan/curahkan balasan kebaikan itu kepada anak-cucu (keturunan) &kerabat mereka bila diketahui dan kepada sesama terutama mereka2 yang membutuhkan. Namun kalau orang yang ingin kita balas kebaikannya itu tidak diketahui identitasnya, curahkan segala kebaikan itu pada sesama terutama mereka2 yang membutuhkan, di manapun kita/mereka berada. Semoga, dengan menjalani proses/mekanisme yang dianjurkan agama itu akan terjadi proses pembelajaran antar manusia & pewarisan antar generasi dalam hal berbuat kebaikan, membalas kebaikan, menuju keadilan&kesejahteraan bersama, dalam ridlo Allah SWT, amin...
Saudaraku sekian, mohon ma'af bila terdapat kekeliruan...Ya Tuhan, hamba mohon ampun bila ada kesalahan dalam menguari ayat-Mu, amin..(Sml)

IKHLAS, SABAR DAN TABAH


Saudaraku di manapun berada yang sedang mengalami kesulitan, kesedihan, kekurangan, sakit, dan sejenisnya, belajarlah untuk ikhlas menerimanya, karena kejadian2 itu adalah Sunatullah (Hukum Alam). Yakinilah bahwa selama kita telah menjalani hidup di jalan Tuhan dengan baik, maka apapun yang kita alami adalah pilihan terbaik Tuhan bagi kita.
Untuk meyakini bahwa itu pilihan terbaik Tuhan, kita tidak pantas meminta -apalagi memaksa- Tuhan menunjukkan kemungkinan2 yang bukan pilihan terbaik itu pada kita. Itu bagian dari rahasia Tuhan, dan merupakan ujian yang diberikan Tuhan pada kita, pada ketaatan kita menjalani jalan kebenaran. Bila kita lulus ujian Tuhan bisa menaikkan derajad kita melampau para malaikat, tetapi kalau tidak lulus maka derajad kita manusia bisa diturunkan menjadi derajad yang paling hina.
Oleh karena itu Tuhan mengajarkan, ketika sedih kita diminta sabar, ketika senang kita diminta bersyukur; ketika mengalami kesulitan/kekurangan kita diminta tawakkal (memaksimalkan ikhtiar/upaya, do'a&kepasrahan). Bahkan Tuhan menjanjikan bahwa sakit yang kita alami dapat menjadi pengurang/penghapus dosa, bila kita ikhlas menerimanya dengan tetap bertawakkal. Masih banyak janji Tuhan lainnya….., pendeknya, apapun yang kita alami: suka/duka, sehat/sakit, dsb, semuanya dapat menjadi sarana penghapus dosa maupun ladang pengumpul pahala, kalau itu semua kita terima/jalani dengan keikhlasan hati, kesabaran&kesyukuran. Yang dilihat Tuhan bukanlah banyaknya kekayaan kita atau tingginya status sosial kita, melainkan bagaimana hati, perkataan, sikap&tindakan kita, apakah sudah sesuai dengan kehendak-Nya. Apapun status/peran keduniaan kita di mata Tuhan adalah sama, selama kita bertindak di jalan Tuhan&sesuai dengan status/peran kita.
Semoga Tuhan berkenan memasukkan kita ke dalam golongan orang2 yang taat&selamat, amin. Selamat bukan berarti selalu terhindar dari kesulitan/kesedihan/kekurangan/sakit/kematian, melainkan terhindar dari jalan yang sesat/salah/dosa & dari murka Tuhan.
Saudaraku, sekian dulu, teriring do'a&harapan saya, semoga kita semua selalu dalam lindungan&petunjuk Tuhan YMK, amin....(Sml)